Pasal Penipuan Arisan Online

Pasal Penipuan Arisan Online

Pasal Penipuan dalam KUHP

Tindak pidana penipuan pada dasarnya diatur dalam dalam Pasal 378 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 492 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 mendatang.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya (hal. 261):

Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, pasal ini adalah ketentuan tentang tindak pidana penipuan, yaitu tindak pidana terhadap harta benda. Perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara, untuk memberikan barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.

Selengkapnya mengenai unsur dan penjelasan pasal penipuan dalam KUHP dan UU 1/2023 dapat Anda simak pada Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Pasal 386 KUHP – Penipuan dalam Transaksi Perdagangan

Pasal 386 KUHP mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks transaksi perdagangan, seperti penjualan barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan atau penipuan terkait kualitas barang. Isi Pasal 386 KUHP:

“Barang siapa dalam transaksi perdagangan, dengan sengaja mengelabui pihak lain untuk membeli atau menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Penjelasan: Pasal ini memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan penipuan dalam perdagangan, seperti menjual barang palsu, barang dengan kualitas yang lebih rendah dari yang dijanjikan, atau menggunakan informasi yang menyesatkan.

Pasal 378 KUHP – Penipuan Umum

Pasal 378 KUHP adalah pasal utama yang mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam hukum pidana Indonesia. Pasal ini mengatur mengenai tindakan yang dilakukan dengan cara menipu seseorang untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah. Isi Pasal 378 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, atau dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu, atau memberikan hutang, yang dapat mendatangkan kerugian, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan dengan menggunakan modus operandi seperti menyamar menggunakan identitas palsu, memberikan informasi yang salah, atau melakukan tindakan yang membujuk korban untuk menyerahkan harta benda atau memberikan pinjaman. Hukuman bagi pelaku penipuan ini adalah penjara maksimal 4 tahun.

Pasal tentang Penipuan Online

Pada dasarnya, penipuan online merupakan tindak pidana yang sama dengan penipuan konvensional yang diatur baik dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (“RKUHP”) yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2025 mendatang.

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta, penjual yang menipu pembeli:

Hanya saja, yang menjadi pembedanya adalah media yang digunakan. Menurut Asril Sitompul, penipuan online dalam e-commerce merupakan penipuan yang menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan perdagangan sehingga tidak lagi mengandalkan basis perusahaan yang bersifat konvensional dan nyata.

Adapun UU ITE dan perubahannya tidak mengatur eksplisit mengenai penipuan online. Berikut ini bunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Namun untuk menentukan apakah seseorang melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE atau tidak, terdapat beberapa pedoman implementasi yang harus diperhatikan sebagai berikut.

Pasal 490 KUHP – Penipuan dalam Perkawinan

Pasal ini mengatur penipuan yang berkaitan dengan perkawinan, terutama terkait penipuan yang dilakukan dengan tujuan mengelabui pihak lain dalam proses perkawinan. Isi Pasal 490 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud menipu, membuat perjanjian nikah atau perkawinan yang tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.”

Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks pernikahan atau perjanjian perkawinan, yang melibatkan kebohongan atau pemalsuan informasi mengenai status atau persyaratan perkawinan.

Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Penipuan dalam Hukum Pidana Indonesia

Penipuan merupakan salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana pelaku mencoba untuk memperoleh keuntungan dengan cara menipu atau membujuk seseorang untuk menyerahkan sesuatu yang berharga. Dalam sistem hukum Indonesia, penipuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memberikan sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melakukan penipuan. Berikut ini adalah beberapa pasal yang mengatur tentang penipuan dalam hukum pidana Indonesia.

Pertanggungjawaban Pidana

Mengutip Pound, Romli Atmasasmita dalam buku Perbandingan Hukum Pidana (hal. 65) menerangkan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan.

Masih perihal pertanggungjawaban pidana, Roeslan Saleh dalam buku Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana (hal. 33) menerangkan bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.

Adapun yang dimaksud dengan celaan objektif adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum, sedangkan celaan subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau bertentangan dengan hukum (hal. 33).

Merujuk pada permasalahan Anda, apabila orang yang merekomendasikan tidak mengetahui kasus penipuan atau niat jahat yang akan dilakukan oleh orang yang direkomendasikannya, maka orang yang merekomendasikan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Namun, apabila orang yang merekomendasikan ini mengetahui adanya niat jahat kemudian bersekongkol atau melakukan pemufakatan jahat, dan ikut serta dalam melakukan upaya penipuan serta memenuhi unsur tindak pidana penipuan, maka orang yang merekomendasikan dapat dikategorikan sebagai orang yang turut serta dalam melakukan pasal penipuan dan dapat diminta pertanggungjawaban.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa yang dipidana sebagai pelaku tindak pidana adalah:

Perlu diingat bahwa pertanggungjawaban pidana hanya berlaku bila seseorang melakukan sebuah tindak pidana. Oleh karenanya, apabila orang yang merekomendasikan tidak turut serta melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang direkomendasikannya, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Melainkan orang yang merekomendasikan hanya bertanggung jawab secara moral atas tindakan orang yang direkomendasikannya.

Demikian jawaban kami seputar pasal penipuan dan sanksi hukum yang mungkin dijatuhkan pada orang yang merekomendasikannya, semoga bermanfaat.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 492 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.

Bunyi Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan adalah:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Adapun, pasal tindak pidana penipuan dalam Pasal 492 UU 1/2023 adalah:

Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Sebagai informasi, denda kategori V dalam Pasal 492 UU 1/2023 di atas adalah Rp500 juta.[2]

Menurut R. Sugandhi, unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.[3]

Lebih lanjut menurut R. Soesilo, kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya:[4]

Pasal Apa yang Dipakai?

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024, Pasal 378 KUHP, dan Pasal 492 UU 1/2023 mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023 mengatur tentang tindak pidana penipuan, sementara itu Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 mengatur tentang perbuatan menyebarkan berita bohong/informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik, misalnya transaksi perdagangan daring .

Walaupun demikian, tindak pidana dalam UU 1/2024, KUHP, dan UU 1/2023 tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP maupun Pasal 492 UU 1/2023.

Jadi, pelaku penipuan tiket konser musik dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, akan tetapi dapat juga dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 apabila penipuan dilakukan secara online.

Kemudian menjawab pertanyaan Anda pasal mana yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan jual beli tiket online, maka bergantung pada pihak penegak hukum untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 . Namun, pada praktiknya, pihak penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana UU 1/2024. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif.

Baca juga: Surat Dakwaan: Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Merujuk pada artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan, dijelaskan bahwa dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan PN Sleman 570/Pid.Sus/2017/PN SMN. Dalam kasus ini, terdakwa menipu korbannya dengan mengadakan promo tiket pesawat palsu secara online. Karena tergiur promosi tersebut, akhirnya korban membeli tiket pesawat melalui terdakwa. Penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif. Pada dakwaan kesatu menggunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016. Sedangkan pada dakwaan kedua, penuntut umum menggunakan Pasal 378 KUHP.

Namun, pada putusannya, hakim memutus terdakwa dengan sanksi pidana penjara selama 11 bulan dan denda sebesar Rp5 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 1 bulan karena telah melakukan tindak pidana menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.

Jadi berdasarkan uraian di atas sekaligus menjawab pertanyaan Anda tentang kasus menjual tiket konser musik online, pada praktiknya Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 dan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan online. Namun demikian, pada akhirnya hakimlah yang menentukan hukuman pidana apa yang dijatuhkan pada pelaku.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986.

Putusan PN Sleman 570/Pid.Sus/2017/PN SMN, diakses pada Rabu, 26 Juni 2024, pukul 08.23 WIB.

[2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023

Bentuk Penipuan Online

Dalam kasus penipuan online, kerugian tidak hanya dirasakan konsumen saja, melainkan juga pelaku usaha. Berikut adalah beberapa bentuk penipuan online dalam bidang jual beli yang lazim terjadi:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran keempat artikel dengan judul Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan dalam Jual Beli Online yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, S.H., M.H., yang dipublikasikan pertama kali pada Senin, 16 Januari 2012, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H., pada Selasa, 9 Oktober 2018, kedua kalinya pada Kamis, 22 Juli 2021, dan ketiga kalinya oleh Erizka Permatasari, S.H. pada Rabu, 6 Juli 2022.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan RKUHP yang baru disahkan pada tanggal 6 Desember 2022.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.